Senin, 13 Mei 2013

UPACARA MAPPALILI SUKU BUGIS DI SULAWESI SELATAN



      A.   Latar Belakang

Acara adat sebagai suatu kekayaan budaya dan tradisi tetap dipertahankan di bagian wilayah Sulawesi Selatan untuk mengawali musim. Mappalili sebagai salah satu jenis upacara ritual, dahulu pada dasarnya lahir di tengah-tengah dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat yang berlatar belakang suku bangsa Bugis dan Makassar. Dalam perkembangannya dewasa ini, upacara ritual yang disebut mappalili hanya popular di kalangan kelompok masyarakat yang melihat komunitas bissu sebagai yang terpenting dalam upacara ini. Bahkan upacara ritual mappalili yang popular di kalangan masyarakat Bugis, khususnya di daerah Segeri Mandalle Kabupaten Pangkep,Sulawesi Selatan. Penetapan hari pelaksanaan setiap tahun berjalan ditentukan oleh pimpinan bissu, yang disebutnya Puang Matoa dan Puang Lolo. Upacara adat yang dilakukan turun-temurun diyakini masyarakat setempat sebagai pedoman bagi petani untuk memulai musim tanam padi. Ketika pemerintahan dipegang oleh raja pada zaman prasejarah, bissu dipercayakan menjadi pemimpin upaca adat tersebut, termasuk menentukan penetapan hari pelaksanaannya. Namun seiring perubahan sistem pemerintahan, penetapan hari H upacara adat itu sudah mendapat campur tangan pihak pemerintah.

Menurut etimology, Mappalili (Bugis) / Appalili (Makassar) berasal dari kata palili yang memiliki makna untuk menjaga tanaman padi dari sesuatu yang akan mengganggu atau menghancurkannya. Mappalili atau Appalili adalah ritual turun-temurun yang dipegang oleh masyarakat Sulawesi Selatan, masyarakat dari Kabupaten Pangkep terutama Mappalili adalah bagian dari budaya yang sudah diselenggarakan sejak beberapa tahun lalu.
Mappalili adalah tanda untuk mulai menanam padi. Tujuannya adalah untuk daerah kosong yang akan ditanam, disalipuri (Bugis) / dilebbu (Makassar) atau disimpan dari gangguan yang biasanya mengurangi produksi.

Menurut bagian 32 bab XV UUD 1945 tentang konservasi kebudayaan nasional, pemerintah Kabupaten Pangkep memberikan penghargaan kepada konservasi dan pelaksanaan upacara Mappalili di setiap tahun atau setiap awal musim budidaya. Pada prosesi pelaksanaan Mappalili memiliki beberapa perbedaan antara satu kecamatan dengan kecamatan lain karena menurut perhitungan dan diskusi dari pemimpin adat (anrong guru / kalompoang) di setiap kecamatan. Tapi ada sesuatu yang akan menjadi dasar utama dari prosesi pelaksanaan dan peralatan yang digunakan tidak bisa kalah.

Mappalili memiliki sesuatu yang menggambarkan karakteristik dari masyarakat Pangkep sepenuhnya. Pada pelaksanaan pembangunan upacara Mappalili di setiap kecamatan masih menggunakan beberapa peralatan yang digunakan sejak beberapa tahun lalu. Penggunaan peralatan harus melalui ritual adat yang melibatkan leade kustom, sosialita, dan beberapa pemerintah. Oleh karena itu, aktivitas upacara Mappalili di setiap kecamatan dapat berbeda sesuai dengan waktu dan jenis ritual pelaksanaannya.

Mappalili / Appalili dapat disimpulkan sebagai peralatan atau alat pemersatu dan sumber kerja sama maka dapat meningkatkan produksi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


     B.   Proses Pelaksanaan Upacara
      
      Mappalili di Balla Kalompoang biasanya digelar selama lima hari, tetapi dengan pertimbangan waktu dan biaya, sehingga diselenggarakan selama dua hari hanya tanpa mengurangi nilai dan makna budaya.

Setelah doa Subuh, penyusunan Mappalili dilakukan dengan Pinati (sanro/ perias pengantin) dengan didampingi oleh drum tradisional untuk mengumpulkan personil Palili yang memiliki anggota 41 orang.

Para rombongan dari Palili pergi ke sawah Kalompoang di Pacce'lang. Rombongan dipimpin oleh Pinati Male. Urutan Mappalili rombongan sebagai berikut:

a. Bendera Kerajaan Siang dengan lainnya 4 bendera, ada :
  • Bendera hitam - (labolong) anrong appaka.
  • Bendera merah - untuk Barani risibatua.
  • Bendera kuning - Bendera rilesang.
  • Bendera hijau - Pabbicara risengkae bendera.
  b. 6 tombak
  c. Beras
  d. Pinati
  e. 1 set alat pabrik
  f. 2 kerbau
  g. Masyarakat

Setelah dari lokasi Palili, para rombongan dari Palili makan bersama dengan songkolo porsi Palopo na.       Ada dua Pinati, satu Pinati Pria dan yang lainnya Pinati Wanita. Pinati dipilih berdasarkan diskusi masyarakat. Mereka memiliki tugas yang berbeda, Pinati Pria mengelola penyusunan dan pelaksanaan Mappalili, dan Pinati Wanita mengelola konsumsi.

Setelah acara Mappalili digelar oleh pihak bissu Kerajaan, masyarakat setempat barulah menanam padi di   sawah. Hal itu sudah turun-temurun dilakukan. Masyarakat meyakini itu. Kalau ada yang melanggar atau mendahului menanam padi sebelum acara adat digelar, biasanya mendapat bala atau tanamannya puso. 

Acara adat Mappalili yang digelar selama tiga hari, diawali dengan acara "atteddu arajang" atau membangunkan alat pembajak yang bertuah, kemudian "arajang ri'alu" atau mengarak pembajak sawah keliling kampung diiringi musik tradisional dan pemangku adat yang menggunakan baju adat. 

Puncak acara pada hari ketiga yakni "majjori" atau memulai membajak sawah peninggalan Kerajaan Segeri. Acara tersebut tak kalah meriahnya dengan dua acara sebelumnya. Karena setelah prosesi majjori itu dilakukan, diikuti acara siram-siraman air sebagai bentuk suka-cita oleh pemangku adat dan masyarakat setempat. 

Matteddu arajang alias membangunnya benda-benda kerajaan bukan perkara muda. Ada ritual dan harus dilakukan orang-orang tertentu. Presiden sekalipun, tidak bisa membangunkan arajang. Yang bisa membangunkan hanya Puang Matoa. Waktu yang dipilih untuk mattedu arajang juga melalui perhitungan bugis yakni 9 ompo, 9 temmate dan parallawali atau seimbang antara yang lewat dan datang. Usai mattedu dilanjutkan dengan mappelesso atau membaringkan arajang. 

Setelah itu, proses selanjutnya adalah mallekke wae dan labu lalle yakni mengambil air di sungai dan batang pisang lalu dibawa ke arajang di rumah adat. Batang pisang yang diambil harus utuh. "Maknanya ya untuk memandikan arajang." Setelah itu akan dicari waktu tepat untuk menurunkan arajang ke sawah. 

Saat mengarak arajang ke sawah ini sepertinya merupakan momen puncak karena diusung dan diantar 25 orang yang terdiri atas pembawa arajang dan pembawa bendera. Arajang akan diarak dalam proses hikmat dan sakral dari rumah adat ke Segeri, singgah di Sungai Segeri, ke Pasar Segeri lalu dibawa kembali ke tempat peraduannya bermula. 

Saat arajang diarak itulah pantangan untuk melintas atau lewat di depan arak-arakan. Zaman dulu, orang yang melintas di depan langsung mati. Kalau sekarang, orangnya langsung jatuh sakit. 



Puncak acara pada hari ketiga yakni "majjori" atau memulai membajak sawah peninggalan Kerajaan Segeri. Acara tersebut tak kalah meriahnya dengan dua acara sebelumnya. Karena setelah prosesi majjori itu dilakukan, diikuti acara siram-siraman air sebagai bentuk suka-cita oleh pemangku adat dan masyarakat setempat.

Matteddu arajang alias membangunnya benda-benda kerajaan bukan perkara muda. Ada ritual dan harus dilakukan orang-orang tertentu. Presiden sekalipun, tidak bisa membangunkan arajang. Yang bisa membangunkan hanya Puang Matoa. Waktu yang dipilih untuk mattedu arajang juga melalui perhitungan bugis yakni 9 ompo, 9 temmate dan parallawali atau seimbang antara yang lewat dan datang. Usai mattedu dilanjutkan dengan mappelesso atau membaringkan arajang. 

Setelah itu, proses selanjutnya adalah mallekke wae dan labu lalle yakni mengambil air di sungai dan batang pisang lalu dibawa ke arajang di rumah adat. Batang pisang yang diambil harus utuh. "Maknanya ya untuk memandikan arajang." Setelah itu akan dicari waktu tepat untuk menurunkan arajang ke sawah. 

Saat mengarak arajang ke sawah ini sepertinya merupakan momen puncak karena diusung dan diantar 25 orang yang terdiri atas pembawa arajang dan pembawa bendera. Arajang akan diarak dalam proses hikmat dan sakral dari rumah adat ke Segeri, singgah di Sungai Segeri, ke Pasar Segeri lalu dibawa kembali ke tempat peraduannya bermula. 

Saat arajang diarak itulah pantangan untuk melintas atau lewat di depan arak-arakan. Zaman dulu, orang yang melintas di depan langsung mati. Kalau sekarang, orangnya langsung jatuh sakit. 

Acara Mappalili selama tiga hari tiga malam itu juga dimeriahkan dengan Maggiri ala bissu alias tarian dari para bissu. Tarian tersebut menunjukkan kemampuan kekebalan mereka terhadap benda tajam dengan menusuk beberapa bagian tubuhnya sendiri. 

C. Peranan Bissu dalam pelaksanaan Upacara Mappalili

Mappalili adalah upacara mengawali musim tanam padi di sawah. Ritual ini dijalankan oleh para pendeta Bugis Kuno yang dikenal dengan sebutan bissu. Selain di Pangkep, komunitas bissu ada di Bone, Soppeng, dan Wajo. Ritual dipimpin langsung Seorang Bissu Puang Matoa. 

Puang Matoa terlihat begitu berwibawa di antara bissu yang berkumpul di rumah arajang, yakni tempat pusaka berupa bajak sawah disemayamkan. Mengenakan kemeja bergaris dengan warna dominan putih, dipadu sarung putih polos dan songkok. Suara santun dan tegas selalu keluar dari mulutnya. Tak ada teriakan sedikit pun. Sebagai pengganti teriakannya, Puang Matoa menggunakan katto-katto, sejenis pentungan yang khusus untuk memanggil anak laki-laki, dan kalung-kalung, nama alat untuk memanggil anak perempuan. 

Cukup memukul katto-katto tiga kali dan memberi kode. Meski hanya memanfaatkan pelita, para bissu tetap mempersiapkan perlengkapan ritual. Saidi, misalnya, membentuk simbol-simbol di atas daun sirih menggunakan beras empat warna : masing-masing hitam simbol tanah, merah simbol api, kuning simbol angin, dan putih simbol air. Ahmad Sompo, 43 tahun, Bissu Salassa Mangaji, terlihat membuat pelita dari buah kemiri dan kapas yang dibalutkan pada potongan bamboo. Setelah semua persiapan rampung, upacara pun digelar esok hari. 

Mappalili dimulai dengan upacara membangunkan arajang. “Teddu’ka denra maningo. Gonjengnga’ denra mallettung. Mallettungnge ri Ale Luwu. Maningo ri Watang Mpare. (Kubangunkan Dewa yang tidur. Kuguncang Dewa yang terbaring. Yang berbaring di Luwu. Yang tertidur di Watampare),” kata Puang Matoa, melagukan nyanyian untuk membangunkan arajang. 

Nyanyian Puang Matoa kemudian disambung suara semua bissu yang terlibat dalam upacara Mappalili. “Tokkoko matule-tule. Matule-tule tinaju. Musisae-sae kenneng. Masilanre-lanre kenning. Musinoreng musiotereng. Musiassaro lellangeng. Mupakalepu lolangeng. Lolangeng mucokkongngie. Lipu muranrusie. (Bangkitlah dan muncul. Tampakkan wajah berseri. Menari-nari bersama kami. Bersama turun, bersama bangun. Bersama saling mengunjungi. Menyatukan tujuan. Negeri yang engkau tempati. Tanah tumpah darahmu).”Nyanyian membangunkan arajang ada 10 lagu. Secara berurutan, Puang Matoa menyanyikannya, setiap tembangnya diikuti sembilan bissu yang terlibat dalam upacara. Bagian acara ini disebut matteddu arajang atau membangunkan pusaka berupa bajak sawah. Konon, bajak ini ditemukan secara gaib melalui mimpi. Puang Matoa mengatakan bajak dari kayu ini sudah ada sejak tahun 1330. Arajang tiap-tiap daerah ini berbeda. Di Pangkep berupa bajak sawah. Di Soppeng berupa sepasang ponto atau gelang berkepala naga yang terbuat dari emas murni. Sedangkan Bone dan Wajo, arajang-nya berupa keris.

Mengingat sudah sangat lama, bajak itu hanya diturunkan saat upacara Mappalili. Adapun tempat penyimpanan bajak tersebut diikatkan pada bubungan atas rumah arajang. Sebelum digantung, bajak atau     arajang itu dibungkus kain putih polos, dililit daun kelapa kering untuk menguatkan bungkusan. Tepat di bawah bajak terdapat palakka atau tempat tidur, berisi dupa dan beberapa badik. Tempat arajang itu dikelilingi kain merah polos. 

Setelah Matteddu Arajang, dilanjutkan dengan Mappalesso Arajang atau memindahkan arajang. Benda pusaka ini dipindahkan ke ruang tamu terbuka, mirip pendopo. Sebelumnya, seluruh pembungkus dibuka. Tepat di tengah, bajak ini dibaringkan bak jenazah. Ditutupi daun pisang, kemudian kedua ujungnya diberi tumpukan beberapa ikat padi yang masih berbentuk bulir. Pada bagian atas tumpukan padi itu dipasangi payung khas Bugis. Acara selanjutnya adalah Mallekko Bulalle atau menjemput nenek. 

Penjemputan dilakukan di Pasar. Beberapa bahan ritual di antaranya sirih dan kelapa. Selanjutnya memanjatkan doa di empat penjuru pasar, dipimpin Puang Upe Bissu Lolo. Sementara Puang Upe Bissu Lolo berdoa, bissu yang lain menari mengitari Puang Upe dan pembawa sesajen. Dari Pasar, rombongan bergeser menuju Sungai untuk mengambil air. Kegiatan ini dinamakan Mallekko Wae. Dilanjutkan dengan Mapparewe Sumange atau mengembalikan semangat. Malam hari, tepatnya setelah waktu isya, giliran para bissu mempertunjukkan kekebalan mereka. Tradisi ini disebut maggiri atau menikam bagian tubuh dengan benda tajam, seperti keris. Sejak sore para bissu mulai mempersiapkan diri. Mereka berdandan 
semaksimal mungkin untuk tampil paling cantik. Tiap bissu dibalut dengan warna kostum yang berbeda. 

Para bissu duduk mengelilingi arajang. Dipimpin Puang Matoa, mereka mengucapkan mantra dengan 
menggunakan bahasa Torilangi atau bahasa para dewata, yang tak lain adalah bahasa Bugis Kuno. Selanjutnya mereka menari-nari sambil berkeliling, tidak lama kemudian tiap bissu mengeluarkan keris yang diselipkan pada bagian pinggangnya. Keris ditarik dari sarunya, kemudian ditusukkan ke leher, ada juga yang menusuk perutnya. 

Seusai pertunjukan, masing-masing bissu menadahkan sapu tangan, topi, juga kotak. Mereka meminta bayaran dari penonton. Jumlahnya tergantung pemberi. Biasanya bissu yang menjadi idola diberi uang lebih besar. Uang yang diperoleh ini diambil oleh masing-masing bissu. Malam berikutnya, kegiatan maggiri kembali dilakukan. Kali ini jumlah penontonnya jauh lebih banyak dari malam sebelumnya. 

Kegiatan terakhir adalah mengarak arajang keliling kampung. Ini menjadi aba-aba bahwa waktunya untuk turun membajak sawah. Selain berkeliling kampung, arajang dibawa ke tengah sawah yang sekarang sudah menjadi kawasan empang. Arajang disentuhkan ke tanah, lengkap dengan sesembahan, termasuk menyembelih ayam, yang merupakan bagian dari sesembahan. 

Pada saat mengarak, setiap warga yang dilewati bisa menyiramkan air ke rombongan pengarak arajang. Kegiatan ini merupakan bentuk permintaan hujan kepada Sang Pencipta. Tapi sayang, ritual budaya ini hanya dipandang sebelah mata. Ini terlihat dari partisipasi warga yang mulai menurun. Bahkan sebagian warga menjaili dan mengolok-olok para bissu. Beberapa orang malah menyiapkan air comberan untuk disiramkan kepada bissu. Bahkan ada yang sengaja mencampurkan air siraman itu dengan kotoran sapi. 

Tak hanya bissu¸ tapi semua orang yang ikut juga disiram. Kami yang sekedar menyaksikan dan mengambil gambar ritual ini juga kena air, tidak melihat ponsel atau kamera yang kami bawa. Setelah diarak, arajang dibawa kembali. Sebelum dikembalikan ke bubungan atas rumag, arajang terlebih dahuku dibersihkan atau dimandikan. Air bekas mandian arajang ini ramai-ramai ditadahi warga yang menunggu di kolong rumah panggung. Mereka percaya air ini berkhasiat sebagai obat.


             Foto-foto Pelaksanaan Upacara Mappalili :





     Ket : Kelengkapan Upacara Mappalili dan Parade Traktor


D.   Filosofi yang Terdapat dalam Upacara Mappalili

Mappalili atau Appalili adalah ritual turun-temurun yang dipegang oleh masyarakat Sulawesi Selatan sebagai tanda untuk mulai menanam padi.

Menurut saya, dilihat dari proses dan aturan-aturan yang terdapat dalam pelaksanaan upacara adat Mappalili ini banyak sekali nilai filosofi yang dapat kita petik. Mulai dari tujuan Mappalili yaitu untuk menanam daerah yang kosong diawal musim.

Kemudian dalam proses pelaksanaan upacara dilarang untuk mendahului menanam padi sebelum acara adat dimulai karena akan mendapatkan bala. Hal ini memiliki arti bahwa didalam hidup tidak boleh berlaku curang karena suatu saat akan mendapatkan musibah.

Setelah itu terdapat proses upacara yang dinamakan Mapparewe Sumange yang memiliki arti mengembalikan semangat. Lalu para bissu mempertunjukkan kekebalan mereka. Tradisi ini menunjukan bahwa masyarakat kebal akan segala sesuatu yang akan membahayakan nyawa mereka.

Dan untuk kegiatan terakhir upacara tersebut pada saat mengarak, setiap warga yang dilewati bisa menyiramkan air ke rombongan pengarak arajang. Kegiatan ini merupakan bentuk permintaan hujan kepada Sang Pencipta. Dan agar tanaman mereka deiberikan kesuburan.













 

Minggu, 12 Mei 2013

ILMU BUDAYA DASAR


Pengertian Ilmu Budaya Dasar

                Ilmu atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
                Sedangkan Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.

               Secara sederhana IBD adalah pengetahuan yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang diekembangkan untuk mengkaji masalah-masalah manusia dan kebudayaan. Istilah IBD dikembangkan petama kali di Indonesia sebagai pengganti istilah basic humanitiesm yang berasal dari istilah bahasa Inggris “the Humanities”. Adapun istilah humanities itu sendiri berasal dari bahasa latin humnus yang astinya manusia, berbudaya dan halus. Dengan mempelajari the humanities diandaikan seseorang akan bisa menjadi lebih manusiawi, lebih berbudaya dan lebih halus. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa the humanities berkaitan dengan nilai-nilai manusia sebagai homo humanus atau manusia berbudaya. Agar manusia menjadi humanus, mereka harus mempelajari ilmu yaitu the humanities disamping tidak meninggalkan tanggungjawabnya yang lain sebagai manusia itu sendiri. Untuk mengetahui bahwa ilmu budaya dasar termasuk kelompok pengetahuan budaya lebih dahulu perlu diketahui pengelompokan ilmu pengetahuan. Prof Dr.Harsya Bactiar mengemukakan bahwa ilmu dan pengetahuan dikelompokkan dalam tiga kelompok besar yaitu :

1.       Ilmu-ilmu Alamiah ( natural science )
Ilmu-ilmu alamiah bertujuan mengetahui keteraturan-keteraturan yang terdapat dalam alam semesta. Untuk mengkaji hal ini digunakan metode ilmiah. Caranya ialah dengan menentukan hukum yang berlaku mengenai keteraturan-keteraturan itu, lalu dibuat analisis untuk menentukan suatu kualitas. Hasil analisis ini kemudian digeneralisasikan. Atas dasar ini lalu dibuat prediksi. Hasil penelitian 100 5 benar dan 100 5 salah.

2.       Ilmu-ilmu sosial ( social science )
ilmu-ilmu sosial bertujuan untuk mengkaji keteraturan-keteraturan yang terdapat dalam hubungan antara manusia. Untuk mengkaji hal ini digunakan metode ilmiah sebagai pinjaman dari ilmu-ilmu alamiah. Tapi hasil penelitiannya tidak 100 5 benar, hanya mendekati kebenaran. Sebabnya ialah keteraturan dalam hubungan antara manusia initidak dapat berubah dari saat ke saat.

3.       Pengetahuan budaya ( the humanities )
bertujuan untuk memahami dan mencari arti kenyataan-kenyataan yang bersifat manusiawi. Untuk mengkaji hal ini digunakan metode pengungkapan peristiwa-peristiwa dan kenyataankenyataan yang bersifat unik, kemudian diberi arti.
Pengetahuan budaya (the humanities) dibatasi sebagai pengetahuan yang mencakup keahlian (disilpin) seni dan filsafat. Keahlian inipun dapat dibagi-bagi lagi ke dalam berbagai hiding keahlian lain, seperti seni tari, seni rupa, seni musik,dll. Sedangkan ilmu budaya dasar (Basic Humanities) adalah usaha yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah manusia dan kebudayaan. Dengan perkataan lain IBD menggunakan pengertian-pengertian yang berasal dari berbagai bidang pengetahuan budaya untuk mengembangkan wawasan pemikiran serta kepekaan mahasiswa dalam mengkaji masalah masalah manusia dan kebudayaan. Ilmu budaya daar berbeda dengan pengetahuan budaya. Ilmu budaya dasar dalam bahasa Ingngris disebut basic humanities. Pengetahuan budaya dalam bahas inggris disebut dengan istilah the humanities. Pengetahuan budaya mengkaji masalah nilai-nilai manusia sebagai mahluk berbudaya (homo humanus). Sedangkan ilmu budaya dasar bukan ilmu tentang budaya, melainkan mengenai pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah manusia dan budaya.



LATAR BELAKANG ILMU BUDAYA DASAR

Latar belakang ilmu budaya dasar bermula dari kritik yang diberikan oleh sejumlah cendikiawan mengenai system pendidikan kita yang dinilai sebagai warisan system pendidikan pemerintahan Belanda pada masa penjajahan. System pendidikan tersebut merupakan kelanjutan dari politik balas budi yang diajukan oleh Conrad Theodore Van Deventer. Adapun tujuannya adalah menghasilkan tenaga terampil dalam bidang administrasi, perdagangan, teknik,dan keahlian lain demi kelancaran usaha mereka dalam mengeksploitasi kekayaan Negara kita.

Sampai sekarang, system pendidikan yang terkotak-kotak telah menghasilkan banyak tenaga ahli yang berpengalaman dalam disiplin ilmu tertentu. Padahal pendidikan itu seharusnya lebih ditujukan untuk menciptakan kaum cendikiawan daripada mencetak tenaga yang terampil. Para lulusan perguruan tinggi diharapkan dapat berperan sebagai sumber utama bagi pembangunan Negara secara menyeluruh. Dari mereka diharapkan adanya sumbangan ide bagi pemecahan masalah social masyarakat yang sangat kompleks dan berkaitan satu dan lain, dan juga dalam masalah budaya. Sehingga perguruan tinggi Indonesia mampu menghasilkan sarjana yang tidak asing dengan kehidupan masyarakat serta gejolak perkembangan dan kebutuhannya, dan juga mengenali dimensi lain di luar disiplin ilmunya. Sebagai ikhtisar untuk tujuan itu, Ilmu Budaya Dasar diberikan sebagai pelengkap pembentukan sarjana, yang mampu memecahkan permasalahan yang timbul dalam lingkungan masyarakat.

Latar belakang diberikannya IBD selain melihat konteks budaya Indonesia, juga sesuai dengan program pendidikan di Perguruan Tinggi dalam rangka menyempurnakan pembentukan sarjana. Perguruan tinggi diharapkan dapat menghasilkan sarjana-sarjana yang mempunyai seperangkat pengetahuan yang terdiri atas :

               Kemampuan akademis yang merupakan kemampuan untuk berkomunikasi secara ilmiah, baik lisan maupun tulisan, menguasai peralatan analisis, maupun berfikir logis, kritis, sistematis, dan analitis, memiliki kemampuan konsepsional untuk mengidentifikasi dan merumuskan masalah yang dihadapi, serta mampu menawarkan alternatife pemecahannya.

        Kemampuan profesional yang merupakan kemampuan dalam bidang profesi tenaga ahli yang bersangkutan. Dengan kemampuan ini, para tenaga ahli diharapkan memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi dalam bidang profesinya.

          Kemampuan personal yang merupakan kemampuan kepribadian. Dengan kemampuan ini para tenaga ahli diharapkan memiliki pengetahuan sehingga mampu menunjukkan sikap, tingkah laku dan tindakan yang mencerminkan kepribadian Indonesia, memahami dan mengenal nilai-nilai keagamaan, kemasyarakatan dan kenegaraan, serta memiliki pandangan yang luas dan peka terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarkat Indonesia.

      Adapun latar belakang diberikannya mata kuliah IBD dalam konteks budaya, Negara dan masyarakat Indonesia berkaitan dengan permasalahannya sebgai berikut :

          Kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dengan segala keanekaragaman budaya yang tercermin dalam berbagai aspek kebudayaannya, yang biasanya tidak lepas dari ikatan-ikatan primordial, kesukuan dan kedaerahan.

              Pembangunan telah membawa perubahan dalam masyarakat yang menimbulkan pergeseran system nilai budaya dan sikap yang mengubah anggota masyarakat terhadap nilai-nilai budaya. Pembangunan telah menimbulkan mobilitas social, yang diikuti oleh hubungan interaksi yang bergeser dalam kelompok masyarakat. Sementara ini, terjadi juga penyesuaian dalam hubungan antar anggota masyarakat. Dengan demikian, dapat dipahamai bila penggeseran nilai itu membawa akibat jauh dalam kehidupan berbangsa.
           Kemajuan dalam bidang teknologi komunikasi massa dan transportasi, membawa pengaruh terhadap intensitas kontak budaya antarsuku maupun dengan kebudayaan dari luar. Terjadinya kontak budaya dengan kebudayaan asing bukan hanya menyebabkan intensitasnya menjadi lebih besar, tetapi juga penyebarannya berlangsung dengan cepat dan luas jangkauannya. Terjadilah perubahan orientasi budaya yang kadang-kadang menimbulkan dampak terhadap tata nilai masyarakat, yang sedang menumbuhkan identitasnya sendiri sebagai bangsa.


Tema yang diambil oleh kelompok kami adalah manusia dan penderitaan dengan menampilkan sebuah musikalisasi puisi dengan lagu dari Michael Jackson yang berjudul Heal The World dengan lyric:

There's a place in your heart 
And I know that it is love 
And this place could be much 
Brighter than tomorrow. 
And if you really try 
You'll find there's no need to cry 
In this place you'll feel 
There's no hurt or sorrow. 
There are ways to get there 
If you care enough for the living 
Make a little space, make a better place. 

Chorus: 
Heal the world 
Make it a better place 
For you and for me and the entire human race 
There are people dying 
If you care enough for the living 
Make a better place for 
You and for me. 


If you want to know why 
There's a love that cannot lie 
Love is strong 
It only cares for joyful giving. 
If we try we shall see 
In this bliss we cannot feel 
Fear or dread 
We stop existing and start living 
Then it feels that always 
Love's enough for us growing 
Make a better world, make a better world. 

Chorus: 
Heal the world 
Make it a better place 
For you and for me and the entire human race. 
There are people dying 
If you care enough for the living 
Make a better place for 
You and for me. 
There are people dying if you care enough for the living 
Make a better place for you and for me. 
There are people dying if you care enough for the living 
Make a better place for you and for me. 

You and for me / Make a better place 
You and for me / Make a better place 
You and for me / Make a better place 
You and for me / Heal the world we live in 
You and for me / Save it for our children 
You and for me / Heal the world we live in 
You and for me / Save it for our children 
You and for me / Heal the world we live in 
You and for me / Save it for our children 
You and for me / Heal the world we live in 
You and for me / Save it for our children 

Puisi yang kami sampaikan pada musikalisasi puisi ini adalah:

PENDERITAAN

Jiwa menangis diiris sedih
Bermuram durja penuh penderitaan
Jiwa terseduh menangis merintih
Badan terkulai penuh penderitaan

Bagai terdengar angin menderu – deru
Awan tebal bergulung – gulung
Halilintar gemuruh bagai peluru
Semesta alam bagai berkabung

Tak ada kawan menghapus gundah
Tak terdengar langkah orang bertandang
Sendirilah jiwa rasa tenggelam di air bah
Tidak terdengarlah orang menjelang?

Hanya terdengar angin menderu – deru
Di angkasa dingin nan lebar
Adakah orang mengulurkan tangan itu?
Ya, Allah membisikkan supaya sabar

  
Kelompok 3 :
Amaliyah Novinda Sofiana
Bilal Gorbi Ibrahim
Indah Tri Mulyanti
Rafie Zachary
Reza Khotibul Umam
Rida Fika
Siti Nurmala
Adrian Octama