A.
Latar Belakang
Acara adat sebagai suatu kekayaan budaya dan tradisi tetap dipertahankan di bagian wilayah Sulawesi Selatan untuk mengawali musim. Mappalili sebagai salah satu jenis upacara ritual, dahulu pada dasarnya lahir di tengah-tengah dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat yang berlatar belakang suku bangsa Bugis dan Makassar. Dalam perkembangannya dewasa ini, upacara ritual yang disebut mappalili hanya popular di kalangan kelompok masyarakat yang melihat komunitas bissu sebagai yang terpenting dalam upacara ini. Bahkan upacara ritual mappalili yang popular di kalangan masyarakat Bugis, khususnya di daerah Segeri Mandalle Kabupaten Pangkep,Sulawesi Selatan. Penetapan hari pelaksanaan setiap tahun berjalan ditentukan oleh pimpinan bissu, yang disebutnya Puang Matoa dan Puang Lolo. Upacara adat yang dilakukan turun-temurun diyakini masyarakat setempat sebagai pedoman bagi petani untuk memulai musim tanam padi. Ketika pemerintahan dipegang oleh raja pada zaman prasejarah, bissu dipercayakan menjadi pemimpin upaca adat tersebut, termasuk menentukan penetapan hari pelaksanaannya. Namun seiring perubahan sistem pemerintahan, penetapan hari H upacara adat itu sudah mendapat campur tangan pihak pemerintah.
Menurut
etimology, Mappalili (Bugis) / Appalili (Makassar) berasal dari kata palili
yang memiliki makna untuk menjaga tanaman padi dari sesuatu yang akan
mengganggu atau menghancurkannya. Mappalili atau Appalili adalah ritual
turun-temurun yang dipegang oleh masyarakat Sulawesi Selatan, masyarakat dari Kabupaten
Pangkep terutama Mappalili adalah bagian dari budaya yang sudah diselenggarakan
sejak beberapa tahun lalu.
Mappalili adalah tanda untuk mulai menanam padi. Tujuannya adalah untuk daerah kosong yang akan ditanam, disalipuri (Bugis) / dilebbu (Makassar) atau disimpan dari gangguan yang biasanya mengurangi produksi.
Menurut bagian 32 bab XV UUD 1945 tentang konservasi kebudayaan nasional, pemerintah Kabupaten Pangkep memberikan penghargaan kepada konservasi dan pelaksanaan upacara Mappalili di setiap tahun atau setiap awal musim budidaya. Pada prosesi pelaksanaan Mappalili memiliki beberapa perbedaan antara satu kecamatan dengan kecamatan lain karena menurut perhitungan dan diskusi dari pemimpin adat (anrong guru / kalompoang) di setiap kecamatan. Tapi ada sesuatu yang akan menjadi dasar utama dari prosesi pelaksanaan dan peralatan yang digunakan tidak bisa kalah.
Mappalili memiliki sesuatu yang menggambarkan karakteristik dari masyarakat Pangkep sepenuhnya. Pada pelaksanaan pembangunan upacara Mappalili di setiap kecamatan masih menggunakan beberapa peralatan yang digunakan sejak beberapa tahun lalu. Penggunaan peralatan harus melalui ritual adat yang melibatkan leade kustom, sosialita, dan beberapa pemerintah. Oleh karena itu, aktivitas upacara Mappalili di setiap kecamatan dapat berbeda sesuai dengan waktu dan jenis ritual pelaksanaannya.
Mappalili / Appalili dapat disimpulkan sebagai peralatan atau alat pemersatu dan sumber kerja sama maka dapat meningkatkan produksi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Mappalili adalah tanda untuk mulai menanam padi. Tujuannya adalah untuk daerah kosong yang akan ditanam, disalipuri (Bugis) / dilebbu (Makassar) atau disimpan dari gangguan yang biasanya mengurangi produksi.
Menurut bagian 32 bab XV UUD 1945 tentang konservasi kebudayaan nasional, pemerintah Kabupaten Pangkep memberikan penghargaan kepada konservasi dan pelaksanaan upacara Mappalili di setiap tahun atau setiap awal musim budidaya. Pada prosesi pelaksanaan Mappalili memiliki beberapa perbedaan antara satu kecamatan dengan kecamatan lain karena menurut perhitungan dan diskusi dari pemimpin adat (anrong guru / kalompoang) di setiap kecamatan. Tapi ada sesuatu yang akan menjadi dasar utama dari prosesi pelaksanaan dan peralatan yang digunakan tidak bisa kalah.
Mappalili memiliki sesuatu yang menggambarkan karakteristik dari masyarakat Pangkep sepenuhnya. Pada pelaksanaan pembangunan upacara Mappalili di setiap kecamatan masih menggunakan beberapa peralatan yang digunakan sejak beberapa tahun lalu. Penggunaan peralatan harus melalui ritual adat yang melibatkan leade kustom, sosialita, dan beberapa pemerintah. Oleh karena itu, aktivitas upacara Mappalili di setiap kecamatan dapat berbeda sesuai dengan waktu dan jenis ritual pelaksanaannya.
Mappalili / Appalili dapat disimpulkan sebagai peralatan atau alat pemersatu dan sumber kerja sama maka dapat meningkatkan produksi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
B. Proses Pelaksanaan Upacara
Mappalili di
Balla Kalompoang biasanya digelar selama lima hari, tetapi dengan pertimbangan
waktu dan biaya, sehingga diselenggarakan selama dua hari hanya tanpa
mengurangi nilai dan makna budaya.
Setelah doa
Subuh, penyusunan Mappalili dilakukan dengan Pinati (sanro/ perias pengantin)
dengan didampingi oleh drum tradisional untuk mengumpulkan personil Palili yang
memiliki anggota 41 orang.
Para rombongan
dari Palili pergi ke sawah Kalompoang di Pacce'lang. Rombongan dipimpin oleh
Pinati Male. Urutan Mappalili rombongan sebagai berikut:
a. Bendera
Kerajaan Siang dengan lainnya 4 bendera, ada :
- Bendera hitam - (labolong) anrong appaka.
- Bendera merah - untuk Barani risibatua.
- Bendera kuning - Bendera rilesang.
- Bendera hijau - Pabbicara risengkae bendera.
b. 6 tombak
c. Beras
d. Pinati
e. 1 set alat pabrik
f. 2 kerbau
g. Masyarakat
c. Beras
d. Pinati
e. 1 set alat pabrik
f. 2 kerbau
g. Masyarakat
Setelah dari lokasi Palili, para rombongan dari Palili makan bersama dengan
songkolo porsi Palopo na. Ada dua
Pinati, satu Pinati Pria dan yang lainnya Pinati Wanita. Pinati dipilih
berdasarkan diskusi masyarakat. Mereka memiliki tugas yang berbeda, Pinati Pria
mengelola penyusunan dan pelaksanaan Mappalili, dan Pinati Wanita mengelola
konsumsi.
Setelah acara
Mappalili digelar oleh pihak bissu Kerajaan, masyarakat setempat barulah
menanam padi di sawah. Hal itu sudah turun-temurun dilakukan. Masyarakat
meyakini itu. Kalau ada yang melanggar atau mendahului menanam padi sebelum
acara adat digelar, biasanya mendapat bala atau tanamannya puso.
Acara adat Mappalili yang digelar selama tiga hari, diawali dengan acara
"atteddu arajang" atau membangunkan alat pembajak yang bertuah,
kemudian "arajang ri'alu" atau mengarak pembajak sawah keliling
kampung diiringi musik tradisional dan pemangku adat yang menggunakan baju
adat.
Puncak acara pada hari ketiga yakni "majjori" atau memulai membajak
sawah peninggalan Kerajaan Segeri. Acara tersebut tak kalah meriahnya dengan
dua acara sebelumnya. Karena setelah prosesi majjori itu dilakukan, diikuti
acara siram-siraman air sebagai bentuk suka-cita oleh pemangku adat dan
masyarakat setempat.
Matteddu arajang alias membangunnya benda-benda kerajaan bukan perkara muda.
Ada ritual dan harus dilakukan orang-orang tertentu. Presiden sekalipun, tidak
bisa membangunkan arajang. Yang bisa membangunkan hanya Puang Matoa. Waktu yang
dipilih untuk mattedu arajang juga melalui perhitungan bugis yakni 9 ompo, 9
temmate dan parallawali atau seimbang antara yang lewat dan datang. Usai
mattedu dilanjutkan dengan mappelesso atau membaringkan arajang.
Setelah itu, proses selanjutnya adalah mallekke wae dan labu lalle yakni
mengambil air di sungai dan batang pisang lalu dibawa ke arajang di rumah adat.
Batang pisang yang diambil harus utuh. "Maknanya ya untuk memandikan
arajang." Setelah itu akan dicari waktu tepat untuk menurunkan arajang ke
sawah.
Saat mengarak arajang ke sawah ini sepertinya merupakan momen puncak karena
diusung dan diantar 25 orang yang terdiri atas pembawa arajang dan pembawa
bendera. Arajang akan diarak dalam proses hikmat dan sakral dari rumah adat ke
Segeri, singgah di Sungai Segeri, ke Pasar Segeri lalu dibawa kembali ke tempat
peraduannya bermula.
Saat arajang diarak itulah pantangan untuk melintas atau lewat di depan
arak-arakan. Zaman dulu, orang yang melintas di depan langsung mati. Kalau
sekarang, orangnya langsung jatuh sakit.
Puncak acara
pada hari ketiga yakni "majjori" atau memulai membajak sawah
peninggalan Kerajaan Segeri. Acara tersebut tak kalah meriahnya dengan dua
acara sebelumnya. Karena setelah prosesi majjori itu dilakukan, diikuti acara
siram-siraman air sebagai bentuk suka-cita oleh pemangku adat dan masyarakat
setempat.
Matteddu
arajang alias membangunnya benda-benda kerajaan bukan perkara muda. Ada ritual
dan harus dilakukan orang-orang tertentu. Presiden sekalipun, tidak bisa
membangunkan arajang. Yang bisa membangunkan hanya Puang Matoa. Waktu yang
dipilih untuk mattedu arajang juga melalui perhitungan bugis yakni 9 ompo, 9
temmate dan parallawali atau seimbang antara yang lewat dan datang. Usai
mattedu dilanjutkan dengan mappelesso atau membaringkan arajang.
Setelah itu, proses selanjutnya adalah mallekke wae dan labu lalle yakni
mengambil air di sungai dan batang pisang lalu dibawa ke arajang di rumah adat.
Batang pisang yang diambil harus utuh. "Maknanya ya untuk memandikan
arajang." Setelah itu akan dicari waktu tepat untuk menurunkan arajang ke
sawah.
Saat mengarak arajang ke sawah ini sepertinya merupakan momen puncak karena
diusung dan diantar 25 orang yang terdiri atas pembawa arajang dan pembawa
bendera. Arajang akan diarak dalam proses hikmat dan sakral dari rumah adat ke
Segeri, singgah di Sungai Segeri, ke Pasar Segeri lalu dibawa kembali ke tempat
peraduannya bermula.
Saat arajang diarak itulah pantangan untuk melintas atau lewat di depan
arak-arakan. Zaman dulu, orang yang melintas di depan langsung mati. Kalau
sekarang, orangnya langsung jatuh sakit.
Acara Mappalili selama tiga hari tiga malam itu juga dimeriahkan dengan Maggiri
ala bissu alias tarian dari para bissu. Tarian tersebut menunjukkan kemampuan
kekebalan mereka terhadap benda tajam dengan menusuk beberapa bagian tubuhnya
sendiri.
C. Peranan Bissu dalam pelaksanaan Upacara Mappalili
Mappalili adalah upacara mengawali musim tanam padi di sawah. Ritual ini
dijalankan oleh para pendeta Bugis Kuno yang dikenal dengan sebutan bissu. Selain
di Pangkep, komunitas bissu ada di Bone, Soppeng, dan Wajo. Ritual dipimpin
langsung Seorang Bissu Puang Matoa.
Puang Matoa terlihat begitu berwibawa di antara bissu yang berkumpul di rumah
arajang, yakni tempat pusaka berupa bajak sawah disemayamkan. Mengenakan kemeja
bergaris dengan warna dominan putih, dipadu sarung putih polos dan songkok.
Suara santun dan tegas selalu keluar dari mulutnya. Tak ada teriakan sedikit
pun. Sebagai pengganti teriakannya, Puang Matoa menggunakan katto-katto, sejenis
pentungan yang khusus untuk memanggil anak laki-laki, dan kalung-kalung, nama
alat untuk memanggil anak perempuan.
Cukup memukul katto-katto tiga kali dan memberi kode. Meski hanya memanfaatkan
pelita, para bissu tetap mempersiapkan perlengkapan ritual. Saidi, misalnya,
membentuk simbol-simbol di atas daun sirih menggunakan beras empat warna :
masing-masing hitam simbol tanah, merah simbol api, kuning simbol angin, dan
putih simbol air. Ahmad Sompo, 43 tahun, Bissu Salassa Mangaji, terlihat
membuat pelita dari buah kemiri dan kapas yang dibalutkan pada potongan bamboo.
Setelah semua persiapan rampung, upacara pun digelar esok hari.
Mappalili dimulai dengan upacara membangunkan arajang. “Teddu’ka denra maningo.
Gonjengnga’ denra mallettung. Mallettungnge ri Ale Luwu. Maningo ri Watang
Mpare. (Kubangunkan Dewa yang tidur. Kuguncang Dewa yang terbaring. Yang
berbaring di Luwu. Yang tertidur di Watampare),” kata Puang Matoa, melagukan
nyanyian untuk membangunkan arajang.
Nyanyian Puang Matoa kemudian disambung suara semua bissu yang terlibat dalam
upacara Mappalili. “Tokkoko matule-tule. Matule-tule tinaju. Musisae-sae
kenneng. Masilanre-lanre kenning. Musinoreng musiotereng. Musiassaro
lellangeng. Mupakalepu lolangeng. Lolangeng mucokkongngie. Lipu muranrusie.
(Bangkitlah dan muncul. Tampakkan wajah berseri. Menari-nari bersama kami.
Bersama turun, bersama bangun. Bersama saling mengunjungi. Menyatukan tujuan.
Negeri yang engkau tempati. Tanah tumpah darahmu).”Nyanyian membangunkan arajang ada 10 lagu. Secara berurutan, Puang Matoa
menyanyikannya, setiap tembangnya diikuti sembilan bissu yang terlibat dalam
upacara. Bagian acara ini disebut matteddu arajang atau membangunkan pusaka
berupa bajak sawah. Konon, bajak ini ditemukan secara gaib melalui mimpi. Puang
Matoa mengatakan bajak dari kayu ini sudah ada sejak tahun 1330. Arajang
tiap-tiap daerah ini berbeda. Di Pangkep berupa bajak sawah. Di Soppeng berupa
sepasang ponto atau gelang berkepala naga yang terbuat dari emas murni.
Sedangkan Bone dan Wajo, arajang-nya berupa keris.
Mengingat sudah sangat lama, bajak itu hanya diturunkan saat upacara Mappalili.
Adapun tempat penyimpanan bajak tersebut diikatkan pada bubungan atas rumah
arajang. Sebelum digantung, bajak atau arajang itu dibungkus kain putih polos,
dililit daun kelapa kering untuk menguatkan bungkusan. Tepat di bawah bajak
terdapat palakka atau tempat tidur, berisi dupa dan beberapa badik. Tempat
arajang itu dikelilingi kain merah polos.
Setelah Matteddu Arajang, dilanjutkan dengan Mappalesso Arajang atau
memindahkan arajang. Benda pusaka ini dipindahkan ke ruang tamu terbuka, mirip
pendopo. Sebelumnya, seluruh pembungkus dibuka. Tepat di tengah, bajak ini
dibaringkan bak jenazah. Ditutupi daun pisang, kemudian kedua ujungnya diberi
tumpukan beberapa ikat padi yang masih berbentuk bulir. Pada bagian atas
tumpukan padi itu dipasangi payung khas Bugis. Acara selanjutnya adalah
Mallekko Bulalle atau menjemput nenek.
Penjemputan dilakukan di Pasar. Beberapa bahan ritual di antaranya sirih dan
kelapa. Selanjutnya memanjatkan doa di empat penjuru pasar, dipimpin Puang Upe
Bissu Lolo. Sementara Puang Upe Bissu Lolo berdoa, bissu yang lain menari
mengitari Puang Upe dan pembawa sesajen. Dari Pasar, rombongan bergeser menuju
Sungai untuk mengambil air. Kegiatan ini dinamakan Mallekko Wae. Dilanjutkan
dengan Mapparewe Sumange atau mengembalikan semangat. Malam hari, tepatnya setelah waktu isya, giliran para bissu mempertunjukkan
kekebalan mereka. Tradisi ini disebut maggiri atau menikam bagian tubuh dengan
benda tajam, seperti keris. Sejak sore para bissu mulai mempersiapkan diri.
Mereka berdandan
semaksimal mungkin untuk tampil paling cantik. Tiap bissu
dibalut dengan warna kostum yang berbeda.
Para bissu duduk mengelilingi arajang. Dipimpin Puang Matoa, mereka mengucapkan
mantra dengan
menggunakan bahasa Torilangi atau bahasa para dewata, yang tak
lain adalah bahasa Bugis Kuno. Selanjutnya mereka menari-nari sambil
berkeliling, tidak lama kemudian tiap bissu mengeluarkan keris yang diselipkan
pada bagian pinggangnya. Keris ditarik dari sarunya, kemudian ditusukkan ke
leher, ada juga yang menusuk perutnya.
Seusai pertunjukan, masing-masing bissu menadahkan sapu tangan, topi, juga
kotak. Mereka meminta bayaran dari penonton. Jumlahnya tergantung pemberi.
Biasanya bissu yang menjadi idola diberi uang lebih besar. Uang yang diperoleh
ini diambil oleh masing-masing bissu. Malam berikutnya, kegiatan maggiri
kembali dilakukan. Kali ini jumlah penontonnya jauh lebih banyak dari malam
sebelumnya.
Kegiatan terakhir adalah mengarak arajang keliling kampung. Ini menjadi aba-aba
bahwa waktunya untuk turun membajak sawah. Selain berkeliling kampung, arajang
dibawa ke tengah sawah yang sekarang sudah menjadi kawasan empang. Arajang
disentuhkan ke tanah, lengkap dengan sesembahan, termasuk menyembelih ayam,
yang merupakan bagian dari sesembahan.
Pada saat mengarak, setiap warga yang dilewati bisa menyiramkan air ke
rombongan pengarak arajang. Kegiatan ini merupakan bentuk permintaan hujan
kepada Sang Pencipta. Tapi sayang, ritual budaya ini hanya dipandang sebelah
mata. Ini terlihat dari partisipasi warga yang mulai menurun. Bahkan sebagian
warga menjaili dan mengolok-olok para bissu. Beberapa orang malah menyiapkan
air comberan untuk disiramkan kepada bissu. Bahkan ada yang sengaja
mencampurkan air siraman itu dengan kotoran sapi.
Tak hanya bissu¸ tapi semua orang yang ikut juga disiram. Kami yang sekedar
menyaksikan dan mengambil gambar ritual ini juga kena air, tidak melihat ponsel
atau kamera yang kami bawa. Setelah diarak, arajang dibawa kembali. Sebelum
dikembalikan ke bubungan atas rumag, arajang terlebih dahuku dibersihkan atau
dimandikan. Air bekas mandian arajang ini ramai-ramai ditadahi warga yang
menunggu di kolong rumah panggung. Mereka percaya air ini berkhasiat sebagai
obat.
Foto-foto Pelaksanaan Upacara Mappalili :
Ket : Kelengkapan Upacara Mappalili dan Parade Traktor
D.
Filosofi
yang Terdapat dalam Upacara Mappalili
Mappalili atau
Appalili adalah ritual turun-temurun yang dipegang oleh masyarakat Sulawesi
Selatan sebagai tanda untuk mulai menanam padi.
Menurut saya,
dilihat dari proses dan aturan-aturan yang terdapat dalam pelaksanaan upacara
adat Mappalili ini banyak sekali nilai filosofi yang dapat kita petik. Mulai
dari tujuan Mappalili yaitu untuk menanam daerah yang kosong diawal musim.
Kemudian dalam proses pelaksanaan upacara dilarang untuk mendahului menanam padi sebelum acara adat dimulai karena akan mendapatkan bala. Hal ini memiliki arti bahwa didalam hidup tidak boleh berlaku curang karena suatu saat akan mendapatkan musibah.
Kemudian dalam proses pelaksanaan upacara dilarang untuk mendahului menanam padi sebelum acara adat dimulai karena akan mendapatkan bala. Hal ini memiliki arti bahwa didalam hidup tidak boleh berlaku curang karena suatu saat akan mendapatkan musibah.
Dan untuk kegiatan terakhir upacara tersebut pada saat mengarak, setiap warga yang dilewati bisa menyiramkan air ke rombongan pengarak arajang. Kegiatan ini merupakan bentuk permintaan hujan kepada Sang Pencipta. Dan agar tanaman mereka deiberikan kesuburan.
apa kegiatan adat ini setiap tahun di selenggarakan ? kalau iya bulan berapa ?
BalasHapus